Sabtu, 01 Mei 2010

Hakikat Cinta

Saudaraku yang baik, cinta adalah bagian dari fitrah, orang yang kehilangan cinta dia tidak normal tetapi banyak juga orang yang menderita karena cinta. Bersyukurlah orang-orang yang diberi cinta dan bisa menyikapi rasa cinta dengan tepat.

"Dijadikan indah pada pandangan manusia, kecintaan kepada apa-apa yang diinginkan yaitu wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup didunia dan disisi Allah tempat kembali yang baik." (Al-Qur`an: Al-Imron ayat 14)

"Cintamu kepada sesuatu menjadikan kamu buta dan tuli." (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Cinta memang sudah ada didalam diri kita, diantaranya terhadap lawan jenis. Tapi kalau tidak hati-hati cinta bisa menulikan dan membutakan kita. Cinta yang paling tinggi adalah cinta karena Allah, cirinya adalah orang yang tidak memaksakan kehendaknya. Tapi ada juga cinta yang menjadi cobaan buat kita yaitu cinta yang lebih cenderung kepada maksiat. Cinta yang semakin bergelora hawa nafsu, makin berkurang rasa malu. Dan, inilah yang paling berbahaya dari cinta yang tidak terkendali.

Islam tidak melarang atau mengekang manusia dari rasa cinta tapi mengarahkan cinta tetap pada rel yang menjaga martabat kehormatan, baik wanita maupun laki-laki. Kalau kita jatuh cinta harus hati-hati karena seperti minum air laut semakin diminum semakin haus. Cinta yang sejati adalah cinta yang setelah akad nikah, selebihnya adalah cobaan dan fitnah saja.

Cara untuk bisa mengendalikan rasa cinta adalah jaga pandangan, jangan berkhalwat berdua-duaan, jangan dekati zina dalam bentuk apapun dan jangan saling bersentuhan. Bagi orang tua yang membolehkan anaknya berpacaran, harus siap-siap menanggung resiko. Marilah kita mengalihkan rasa cinta kita kepada Allah dengan memperbanyak sholawat, dzikir, istighfar dan sholat sehingga kita tidak diperdaya oleh nafsu, karena nafsu yang akan memperdayakan kita. Sepertinya cinta padahal nafsu belaka. Wallahu a’lam.

Dusta dan Curang

Suatu ketika Rasulullah SAW berjalan di sebuah pasar hingga beliau melewati seonggok gandum yang hendak dijual. Rasul kemudian memasukkan tangannya ke dalam gandum itu. Saat itulah jari-jarinya menyentuh sesuatu yang basah.

"Apa ini wahai pemilik gandum," tanya Rasulullah kepada si penjual gandum.

"Ya Rasulullah gandum ini basah karena terjena hujan," jawab si pedagang.

Kemudian Rasulullah bertanya kembali, "Kenapa engkau tidak menampakkan yang basah itu agar orang-orang bisa melihatnya".

Kemudian beliau mengatakan, "Barangsiapa yang menipu (berlaku curang), maka sesungguhnya dia bukanlah pengikut kami".

Dari hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah di atas, kita bisa melihat bahwa berbuat curang termasuk ke dalam perbuatan dusta (al-kadzib). Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah dalam hadis lainnya :

"Biasakanlah berkata benar, karena benar itu menuntun kepada kebaikan dan kebaikan itu menuntun ke syurga. Hendaknya seseorang itu selalu berkata benar dan berusaha agar selalu tetap benar, sehingga dicatat di sisi Allah sebagai orang yang siddiq (amat benar). Dan berhati-hatilah dari dusta, karena dusta akan menuntun kita berbuat curang, dan kecurangan itu menuntun ke neraka. Seseorang yang selalu berlaku curang akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta". (HR. Bukhari Muslim dari Ibnu Mas'ud).

Berdusta dan berlaku curang adalah perbuatan yang sangat tercela dalam pandangan Islam. Siapa saja yang melakukannya akan mendapatkan madharat yang besar di dunia maupun akhirat.

Allah SWT berfirman : "Kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang banyak berdusta lagi banyak berdosa" (QS. 45: 7).

Dalam ayat lain disebutkan pula, "Terkutuklah orang-orang yang banyak berdusta". (QS. 51: 10).

Karena itu, Rasulullah SAW mengingatkan kita agar menjauhi perbuatan yang satu ini :

"Jauhi oleh kalian perbuatan dusta, karena dusta akan membawa kepada dosa, dan dosa membawamu ke neraka. Biasakanlah berkata jujur, karena jujur akan membawamu pada kebaikan dan syurga".

Kenyataan ini tentunya harus selalu menjadi renungan kita selalu, karena kecurangan, dusta, penipuan, maksiat, dan hal-hal yang sejenis dengan itu, kini telah menjadi sesuatu yang wajar dalam kehidupan masyarakat kita.

Berlaku curang dan dusta tidak lagi monopoli orang pasar, dalam bentuk pengurangan timbangan, menimbun, membagus-baguskan barang yang kualitasnya jelek, tapi telah menyentuh pula bidang hukum, politik, hiburan, bahkan pendidikan.

Dalam dunia politik misalnya, betapa fitnah, politik uang, sogok menyogok, pemalsuan ijasah, hingga perbuatan klenik, telah menjadi sesuatu yang biasa. Mereka berprinsip, "yang penting tujuan tercapai walau harus menjatuhkan orang lain".

Padahal Allah SWT jauh-jauh hari telah mengingatkan kita tentang hal tersebut, Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang Mukmin dan Mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. (QS. Al-Ahzab: 58).

Penyakit dusta dan curang yang tidak segera disembuhkan, lambat laun akan mendatangkan akibat yang luar biasa bagi masyarakat.

Pertama, hilangnya rasa saling percaya di masyarakat. Pembeli tidak akan percaya lagi pada penjual, rakyat tidak percaya lagi pada penguasa, murid tidak percaya lagi pada guru, dan ketidakpercayaan lainnya.

Bila hal ini terjadi, maka akibat kedua akan segera muncul, yaitu putusnya tali persaudaraan dan hilangnya rasa kasih sayang antar sesama. Tanpa persaudaraan dan kasih sayang, yang muncul hanyalah kebinasaan, egoisme, dan sifat ingin menang sendiri.